DEFINISI TEOLOGI
Teologi berasal dari bahasa yunani, theos, "Allah,
Tuhan", dan , logia, "kata-kata," "ucapan,"
atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan
demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keyakinan beragama. ( sumber:
wikipedia
)
Kata 'teologi' berasal dari bahasa
Yunani klasik, tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata itu
diambil dalam bentuk Yunani maupun Latinnya oleh para penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini,
khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen. Namun demikian, di masa
kini istilah ini dapat digunakan untuk wacana yang berdasarkan nalar di
lingkungan ataupun tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen sendiri
disiplin 'teologi' melahirkan banyak sekali sub-divisinya.
Pada Abad Pertengahan, teologi
merupakan subyek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa disebut sebagai
"The Queen of the Sciences". Dalam hal ini ilmu filsafat merupakan
dasar yang membantu pemikiran dalam teologi.
( Sejarah istilahnya )
Kata "Teologi" diambil
dari bahasa Yunani Helenis, namun demikian maknanya telah berubah jauh melalui
penggunaannya di dalam pemikiran Kristen di Eropa sepanjang Abad Pertengahan
dan Zaman Pencerahan.
- Istilah theologia digunakan dalam literatur Yunani Klasik, dengan makna "wacana tentang para dewa atau kosmologi" (lihat Lidell dan Scott Greek-English Lexicon untuk rujukannya).
- Aristoteles membagi filsafat teoretis ke dalam mathematice, phusike dan theologike. Yang dimaksud dengan theologike oleh Aristoteles kira-kira sepadan dengan metafisika, yang bagi Aristoteles mencakup pembahasan mengenai hakikat yang ilahi. Sejak itu istilah ini telah diambil oleh berbagai tradisi keagamaan Timur maupun Barat.
- Dengan meminjam dari sumber-sumber Yunani, penulis Latin Varro membedakan tiga bentuk wacana ini: mitis (menyangkut mitos-mitos tentang para dewata Yunani), rasional (analisis filosofis mengenai para dewata dan kosmologi) dan sipil (menyangkut ritus dan tugas-tugas keagamaan di tengah masyarakat).
- Para penulis Kristen, yang bekerja dengan kerangka Helenistik, mulai menggunakan istilah ini untuk menggambarkan studi mereka. Kata ini muncul sekali dalam beberapa naskah Alkitab, dalam judul Kitab Wahyu: apokalupsis ioannou tou theologou, "penyataan kepada Yohanes sang theologos". Namun demikian, kata ini merujuk bukan kepada Yohanes sang "teolog" dalam pengertian bahasa kita sekarang, melainkan – dengan menggunakan arti akar kata logos dalam arti yang sedikit berbeda, dan di sini tidak dimaksudkan sebagai "wacana rasional" melainkan dalam arti "firman" atau "pesan". Dengan demikian, sang "theologos" di sini dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan firman Allah - logoi tou theou.
Pendapat Tentang Definisi Teologi
- Teologi adalah "iman yang mencari pengertian (fides quaerens intellectum)." - Anselmus dari Canterbury
- "Teologi adalah upaya untuk menjelaskan hal-hal yang tidak diketahui dalam pengertian-pengertian dari mereka yang tidak patut mengetahuinya." - H. L. Mencken
- "Teologi yang otentik tidak akan mengizinkan orang terobsesi dengan dirinya sendiri." - Thomas F. Torrance dalam Reality and Scientific Theology
- "Teologi memberitakan bukan hanya apa yang dikatakan oleh Alkitab, melainkan juga apa maknanya." - J. Kenneth Grider dalam A Wesleyan-Holiness Theology (Kansas City: Beacon Hill, 1994), hlm. 19.
- "Saya tidak membutuhkan orang bodoh yang tidak menyukai musik, karena musik adalah pemberian Allah. Musik dapat mengusir Iblis dan membuat orang berbahagia, dan dengan demikian mereka melupakan segala kemarahan, ketidaksetiaan, kesombongan, dan sejenisnya. Setelah teologi, saya menempatkan musik pada tempat yang tertinggi dan memberikan kepadanya keagungan yang tertinggi." — Martin Luther, dikutip dalam Martin Marty, Martin Luther, 2004, hlm. 114.
- Adapun persfektif Islam yang dimaksud Teologi : Ilmu Kalam, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin atau ilmu aqaid . Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa “Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid” ialah, ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya[1]
- Menurut A. Hanafi, sebab utama dinamakan “Ilmu Kalam” adalah karena dasar dalil yang digunakan semata-mata dalil akal pikiran, dan dalil naqal (al-qur’an dan hadis) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran.[2]
KAJIAN TEOLOGI
Teologi meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tuhan. Para
teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk
mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi dapat dipelajari sekadar untuk menolong sang
teolog untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi
keagamaan lainnya, atau untuk menolong membuat perbandingan antara berbagai
tradisi atau dengan maksud untuk melestarikan atau memperbarui suatu tradisi
tertentu, atau untuk menolong penyebaran suatu tradisi, atau menerapkan
sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini,
atau untuk berbagai alasan lainnya.
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam
hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia
tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya.
Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama
2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah
ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi
dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala
kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,
yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
3. Manusia berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis,
sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman.
Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia
dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber
segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang
antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga
melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan
Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang
paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi
adalah berfilsafat juga
ALIRAN-ALIRAN
- Teisme : Aliran yang mempunyai keyakinan bahwa Tuhan itu ada, Eksistensi dan Esensi-Nya jelas, tereflesikan dalam hidup dan sistem kehidupan alam semesta ini
- Diagnosisme : Aliran yang masih meragukan keberadaan ada tidaknya Tuhan
- Panteisme : Aliran yang berkeyakinan Tuhan lebih dari satu, dalam hal ini merekapun menyembah Dewa sebagai Tuhan
- Ateisme : Aliran yang menolak adanya Tuhan, mereka menafikan keberdaan Tuhan dalam hidupnya
Aliran Teologi Islam, perbincangan
tentang Anthropomorphisme
- Yang dimaksud “Anthropomorphisme” yang dalam teologi dikenal dengan istilah : Tasybih, musyabihat, tajsim, mujasimah atau aliran shifatiyah, ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa, Tuhan mempunyai jisim atau sifat yang sama dengan sifat jasmani pada manusia (mahluk-Nya). Dari faham yang demikian, akhirnya melibatkan perbincangan yang cukup serius di kalangan aliran-aliran besar dalam teologi Islam, seperti : Golongan Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, aliran Salaf dan lain sebagainya.
- Terjadinya corak perbedaan pendapat di kalangan aliran-aliran dalam teologi Islam tentang “Anthropomorphisme” adalah lebih di sebabkan adanya perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berhubungan dengan masalah “Anthropomorphisme” . Dimana satu sisi dengan memegangi arti lakhir nash secara leterlak tanpa menggunakan adanya bentuk interpretasi apapun. Sedangkan disisi lain tetap berpegang pada dalil-dalil nash yang harus diberi arti majazi dengan takwil dan interpretasi .
- Akibat poin kedua sebagaimana tersebut diatas menyebabkan beberapa aliran seperti : Jabariyah meniadakan sama sekali sifat-sifat yang ada pada Tuhan, karena bisa menjerumuskan kedalam faham tajasum atau tasybih (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Mu’tazilah tetap mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang harus di takwilkan atau diberi interpretasi, sehingga tidak terjerumus pada faham tajasum. Senada dengan Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah juga menggunakan takwil dan interpretasi dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berkaiatan dengan sifat-sifat jasmaniah pada Tuhan, namun mereka lebih hati-hati dan mengambil jalan tengah dalam menentukan sikap pendapatnya. Demikian pula yang difahami oleh aliran Salaf dan Wahabiyah, yang dalam menetapkan sifat-sifat tajasum pada Tuhan dengan berpegang teguh pada arti dhakhir ayat, sehingga mereka mempunyai dua keyakinan yakni, secara Ta’thil (peniadaan sifat Tuhan) sama sekali, dan dengan Tasybih (menyerupakan Tuhan dengan mahluk-Nya).
Syi’ah
Syi’ah yang berarti, pengikut partai, kelompok, perkumpulan,
partisipan atau pendukung , yang dimaksud adalah suatu golongan atau pengikut
setia yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Yang mana dalam sejarahnya,
golongan ini pecah menjadi tiga golongan besar, yakni : Syi’ah Zaidiyah,
Syi’ah Imamiah atau Istna ‘Asyriyah dan Syi’ah Ismailiyah. Dari ketiga
golongan ini yang berpendapat lebih moderat ialah Golongan Syi’ah Zaidiyah.
Ia tidaklah membenarkan tentang pengakuan adanya sifat yang berlebihan yang
diberikan kepada Ali ra., sebagaimana pendapat Syi’ah Ismailiyah yang
mengatakan bahwa Ali hingga kini masih hidup, bukan terbunuh. Sebab Ali telah
dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhanan yang tak akan pernah mati, bahkan dianggapnya
sebagai Tuhan . Anggapan Syi’ah lainnya mengatakan bahwa roh itu dapat
berpindah dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain. Dan Allah itu berjisim serta
dapat menjelma kedalam tubuh manusia . Dari pendapat ini nampaknya Syi’ah dalam
hal anthropomorphisme sangat dekat dengan pengaruh Hindhu, sedangkan
mensifatkan Ali dengan sifat ke-Tuhanan sangatlah dekat dengan faham agama
Masehi.
Jabariyah
Aliran Jabariyah yang disebut
juga sebagai aliran Jahamiyah, karena dibangun oleh Jaham bin Sofwan,
memiliki ajaran pokok bahwa, manusia dalam melakukan perbuatannya adalah dalam
keadaan terpaksa, artinya mereka tidak mempunyai kebebasan menentukan kehendak,
sebab yang ada hanyalah kehendak mutlak Tuhan. Dari faham yang demikian ini
menjadikan faham Jabariyah sering dilawankan dengan faham Qadariyah.
Adapun faham anthropomorphismenya
terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan, aliran Jabariyah berpendapat
bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai Zat. Tuhan tidak
layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian berarti mentasybihkan
(menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Fahamnya mengenai kalam Tuhan
(al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa, al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat
sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat
bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat
kelak. Dan tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan
balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan
ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah
suatu tempat yang tidak kekal.
Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah dibentuk
oleh Washil bin ‘Atha’ (80-131H/ 699-748 M). Dinamakan Mu’tazilah karena
Washil bin ‘Atha’ telah memisahkan diri dari kelompok gurunya yakni Hasan
al-Basri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Basri sendiri : ”I’tazala
‘Anna Washil”, (Washil telah memisahkan diri). Sehingga secara etimologi
Mu’tazilah dapat diartikan sebagai golongan yang memisahkan diri dari gurunya,
karena perbedaan faham dalam sesuatu hal. Kecuali Washil bin ‘Atha’, tokoh
Mu’tazilah terkenal lainnya ialah ; Al’Alaf, An-Nazzham, Al-Jubbai, Bisyr bin
Al-Mu’tamir, Al-Chayyat, Al-Qadhi Abdul abbar dan Az-Zamaikhsyari. Mereka
hampir sama dalam menyandarkan pendapatnya, yakni menggunakan pemikiran
bercorak rasional. Ajaran pokok Mu’tazilah berkisar pada lima prinsip,
diantaranya : Tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid ), keadilan (al- ‘Adlu),
janji dan ancaman (al-Wa’du wa al-wa’idu), tempat diantara dua tempat (al-Manzilatu
baina al-manzilataini) dan amar ma’ruf nahi munkar.
Adapun pandangan Mu’tazilah
terhadap faham Mujassimah (anthropomorphisme), mereka menolak
dengan keras. Mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang mensifati Tuhan
dengan sifat-sifat manusia, seperti : Yadullah (tangan Allah), Kalamullah
(perkataan Allah), dan sebagainya, haruslah ditakwilkan secara majazi (metafora
atau kiasan). Mu’tazilah juga menolak konsep dualisme dan trinitas
tentang Tuhan sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Masehi,
bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilakhirkan dari Tuhan sebagai bapak sebelum
masa dan jauharnya juga sama ]. Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang
disebut dalam kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah
makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat
Tuhan, melainkan berada di luar diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan sebagi suatu yang qadim, juga mengingkari adanya faham bahwa,
Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak ]Alasan Mu’tazilah dalam masalah melihat Tuhan ini
nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata
kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu yang
immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.
Al-Asy’ariyah
Pembangun aliran al-Asyi’aryah
adalah, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asyi’ary, yang lakhir di Basrah (Iraq)
tahun 260 H/ 873 M, dan wafat tahun 324 H/935 M [27]. Sewaktu kecil hingga berumur 40- tahun, al-Asyi’ary sempat
berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai Muhammad
ibn Abdul Wahhab, bahkan sebagai penganut faham Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan
mata kepala, manusia itu sendiri yang menciptakan pekerjaan dan keburukan dan
lain-lain. Namun pada akhirnya al-Asyi’ary keluar dan tidak puas terhadap faham
Mu’tazilah yang dianut oleh gurunya tersebut. Kemudian mendirikan aliran
tersendiri yang dikenal dengan aliran “al-Asyi’aryah“, yang menurut Ali ibn
Iwaji memasukkannya ke dalam kelompok “Ahlu al Sunnah wa
al-Jamaah“, hal itu didasarkan pada catatan yang ada dalam kitab al-Asyi’ary
yaitu dalam “Al-Ibanat an ‘Ushul al Diyanah“. Kitab tersebut berisi tentang
penjelasan soal-soal pokok agama yakni tentang kepercayaan (akidah) ahlu
al-sunnah wa al-jamaah, dan berisi kritik atau penyerangan terhadap aliran
Mu’tazilah.
Dimasukkannya al-Asyi’ary ke dalam
faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah, karena memiliki konsep jalan tengah sebagai
seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrim (antara ahlu al-Hadis dengan
ahlu al-Ra’yi) yang berkembang dalam masyarakat muslim waktu itu.
Adapun pandangan Al-Asyi’aruyah
dalam hal Anthropomorphisme diantaranya meliputi :
Tentang Melihat Tuhan ( Ru’yah Allah
)
Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary
berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di
akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama. al-Asyi’ary
berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk
dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk
dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22).
Tentang Sifat-Sifdat Tuhan
Pendapat al-Asyi’ary dalam
masalah sifat Tuhan adalah terletak ditengah-tengah antara aliran Mu’tazilah
dan Mujassimah. Dimana Mu’tazilah tidak mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan, seperti wujud, qidam, baqa’, wahdaniyah, dan
sifat Zat yang lain seperti : sama’, bashar dan yang lainnya,
kesemuanya itu tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Sedangkan aliran Mujassimah
mempersamakan sifat-sifat Tuhan tersebut dengan sifat yang ada pada mahluk-Nya.
Al-Asyi’ary dalam hal ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan tersebut yang
sesuai dengan Zat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai
sifat-sifat mahluk-Nya, seperti Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita
mendengar dan seterusnya.
Jadi mengenai sifat-sifat Tuhan,
al-Asyi’ary secara garis besar berpendapat bahwa, sifat-sifat itu adalah qadim
sebagaimana Zat yang disifatkan. Maka Allah berkata itupun dengan kalam-Nya
yang qadim, berkehendak dengan iradah-Nya juga yang qadim pula
dan seterusnya.
Tentang Tasybih dan Tajsim (
Penyerupaan dan Personifikasi )
Al-Asyi’ary sangatlah hati-hati
terhadap masalah tasybih (penyerupaan dengan mahluk), hal ini dapat dilihat
pernyataan al-Asyi’ari dalam kitab “al- Luma’ “ sebagaimana dikutip oleh
H.M. Laily Mansur : “Ketika engkau menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai
seluruh mahluk, maka katakanlah bahwa sekiranya Tuhan menyerupai nmya,
tentulah hukumnya sama dengan hukum hadis (yang baru), jika diserupakan, maka
tidak terlepas dari keseluruhan atau sebagiannya. Jika keseluruhan, maka
keadaannya sama dengan hadis keseluruhan, dan jika sebagian, maka keadaannya
serupa untuk sebagian dengan yang hadis (baharu), yang demikian itu semuanya
mustahil bagi Zat yang Qadim. Dengan demikian al-Asyi’ary dalam menetapkan
sifat-sifat Tuhan adalah tanpa melalui ta’wil maupun tasybih.
Tentang al-Qur’an Bukan Mahluk
Telah dikemukakan di atas,
al-Asyi’ary pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia
mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa
kalam Allah itu adalah bukan mahluk. Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim,
adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar
dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu
sendiri.
Dari keterangan ini al-Asyi’ary
melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan
sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz
yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis
dan bersifat mahluk.
al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah adalah
salah satu aliran dalam teologi Islam yang tergolong kelompok ahlu al-Sunnah
wa al-Jamaah. Aliran ini muncul pada awal abad IV H. Aliran al-Maturidiyah
disandarkan pada nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad al-Maturidy, yang lakhir di Maturid, yakni sebuah kota kecil di
Samarkand Uzbekistan, dan tahun kelakhirannya tidak banyak diketahui.
Al-Maturidy wafat sekitar tahun 332 / 333 H.
Aliran al-Maturidiyah juga
bernaung di bawah faham ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bersama dengan
aliran al-Asyi’ariyah. Kedua aliran ini hadir kemedan percaturan
teologi, karena reaksinya terhadap aliran Mu’tazilah . Dan dalam
perkembangannya aliran al-Maturidiyah pecah menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok Samarkand di bawah pimpinan Abu Mansur al-Maturidy sedang kelompok
Bukhara di bawah pimpinan al-Bazdawy.
Perbedaan prinsip tentang masalah
teologi, kelompok al-Maturiduyah Samarkand agak lebih rasional dan lebih dekat
kepada al-Asyi’ariyah, dibandingkan dengan kelompok al-Maturidiyah Bukhara
Adapun pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah,
khususnya dalam hal anthropomorphisme meliputi hal sebagai berikut :
Tentang Sifat – Sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan
al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ariy, bahwa Tuhan mempunyai sifat, namun
bukan sebagai Zat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Sebagai misal, jika
dikatakan Tuhan maha mengetahui, maka buykanlah dengan Zat-Nya, akan tetapi
mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
Dengan demikian , semua sifat-sifat
Tuhan seperti sama’, bashar, ilmu dan seterusnya memang terdapat pada Tuhan ,
akan tetapi bukanlah sifat-sifat itu berdiri sendiri, sebab sifat dan Zat Tuhan
adalah suatu hal yang terpisah.
Tentang Melihat Tuhan
Al-Maturidy sependapat dengan
al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi
al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang
mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu
dapat dilihat.
Pandangan ini didasarkan pada
al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang berbunyi :
ُوجُوْهٌ يَوْمَئِـذ نَا ظِرَة –
اِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَةٌ
Artinya : “ Wajah-wajah ( orang
–orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
Tentang Keyakinan Mengetahui Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa iman
mesti lebih dari sekedar tasdiq, karena baginya akal dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidy juga berpendapat bahwa mengetahi Tuhan
tidak harus dengan bertanya, bagaimana bentuknya. Ma’rifah adalah
mengetahui Tuhan dengan sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan
dengan ke-Esaan-Nya.
Jadi al-Maturidy dalam hal
mengetahui Tuhan, dapatlah dicapai melalui pengetauan akal dengan cara
mengetahui sifat-sifat yang ada pada Tuhan.
Tentang Kejisiman Tuhan
(Anthropomorphisme)
Tentang kejisiman Tuhan ini,
al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan bahwa
ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk jasmani tidak
dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah.
Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan sama sekali tidak mempunyai
badan dan jasmani. al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya
mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus
ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan.
Dari pandangan ini terlihat bahwa
dalam aspek pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah,
terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.
Salaf
Aliran Salaf muncul sekitar abad
ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu mempertalikan diri dengan
pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering disebut
sebagai golongan “Hanabilah“
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran
salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad
ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lakhir di Harran (Iraq) tahun 661 H. dan wafat
sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang dengan pesat
pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang
mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni Muhammad ibn
Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran
Wahabiyah”. Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan
dari aliran Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta
pengikut-pengikutnya yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn
Hambal, baik dalam lapangan fiqih, maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga
menamakan diri sebagai “muhjis sunnah“ (pembangun atau penghidup sunnah).
Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak percaya kepada metode logika
rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode ini tidak pernah
terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi jalan untuk
mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah dikembalikan
kepada sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa embel-embel
interpretasi apapun dengan memegangi arti lakhir atau dengan tafsiran
indrawi (sensible interpretation) secara leterlek.
Adapun aliran Wahabiyah dalam
mendukung penyiaran faham ini adalah dengan jalan kekerasan dan memandang orang
yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dianggap sebagai orang “bid’ah”
yang harus diperangi sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar”.
Adapun pendapat aliran salaf tentang
persoalan sifat-sifat Tuhan, kemahlukan al-Qur’an, penyerupaan (tasybih)
Tuhan dengan manusia, kesemua ini digolongkan hanya menjadi satu persoalan,
yakni tentang “Ketauhidan” (keesaan) yang mencakup tiga segi, diantaranya
:
Tentang Keesaan Zat Tuhan
Aliran Salaf telah memandang sesat
terhadap golongan filosof, aliran Mu’tazilah dan golongan tasawuf, karena
mereka mempercayai adanya persatuan diri dengan Tuhan ( ittihad ) atau
peleburan diri pada Zat Tuhan ( fana’).
Tentang Keesaan Sifat Tuhan
Aliran Salaf dalam menetapkan
sifat-sifat Tuhan, nama-nama atau perbuatan Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an
dan al-Hadis, seperti : al-Hayyu (yang hidup), al-Qayyum (yang
tidak membutuhkan yang lain), al-Shamadu (yang dibutuhkan oleh yang lain),
Zul ‘Arsy al-Majid (yang mempunyai arsy yang megah), Tuhan turun kepada
manusia dalam gumpalan awan (baca al-Baqarah : 210), Tuhan bertempat di langit
(baca QS. Fushilat : 11), Tuhan mempunyai muka (baca QS. Al-Baqarah : 115),
Tuhan mempunyai tangan (baca QS. Ali Imran : 73) dan seterusnya. Sifat-sifat
tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti lakhir semata,
meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut hakekatnya tidak
sama dengan sifat-sifat mahluk. Seperti mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan,
adalah tidak dimaksudkan sebagaimana tangan yang ada pada manusia, begitu
seterusnya.
Jadi dengan perkataan lain,
bahwa aliran Salaf sesungguhnya dalam masalah faham anthropomorphisme,
adalah berada diantara “ta’thil” (peniadaan sifat Tuhan sama sekali)
dengan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan mahluk-Nya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar